Rupiah Dinilai Lebih Tangguh daripada Ringgit, Apa Penyebabnya?

Rupiah Dinilai Lebih Tangguh daripada Ringgit, Apa Penyebabnya?
Rupiah Dinilai Lebih Tangguh daripada Ringgit, Apa Penyebabnya?

Bumiayu.id – Sepanjang tahun 2015, nilai kurs rupiah mengalami pergerakan hingga mencapai 14.000 per dolar AS. Jika dilihat dari data-data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa nilai kurs dalam negeri mengalami pelemahan mulai 12 hingga 13 persen. Pelemahan kurs nyatanya tak membuat rupiah tertinggal di posisi paling bawah. 

Rupiah Dinilai Lebih Tangguh daripada Ringgit, Apa Penyebabnya?[/caption]

Terbukti nilai tukar tersebut dinilai lebih unggul dari ringgit. Penilaian tersebut bukannya tanpa alasan. Meskipun sama-sama mengandalkan sektor komoditas untuk menggerakkan perekonomian, nilai tukar ringgit Malaysia masih kalah perkasa dibanding dalam negeri. Lantas Mengapa hal tersebut bisa terjadi? 

Rupiah dan Ringgit Dinilai Paling Menarik

Fakta pertama yang harus diketahui yakni bahwa nilai tukar rupiah dan ringgit sama-sama dinilai paling menarik dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Hal tersebut disebabkan karena tertekannya level kurs selama 17 tahun terakhir. Namun apa penyebabnya? Hal ini tak lepas dari aksi jual terhadap dua nilai uang tersebut, sebagaimana pernyataan Morgan Stanley Investment.

Rupiah Dinilai Lebih Tangguh daripada Ringgit, Apa Penyebabnya?[/caption]

Tak hanya itu, Morgan Stanley Investment juga memprediksi bahwa nilai kurs dalam negeri dan Malaysia akan terus mengalami kemajuan dibandingkan valuta Negara-negara lain yang termasuk dalam emerging market. 

Baca Juga :  Penyelesaian Apple Terkait Komentar Penjualan

Terlebih lagi, mereka yakni bahwa kedua Negara tersebut akan bebas dari Taper Tantrum yang terjadi pada tahun 2013. Taper Tantrum sendiri merupakan kondisi yang terjadi di pasar obligasi di mana terjadi aktivitas penarikan dengan frekuensi tinggi hingga mencapai 70 miliar dolar AS.

Mengapa Rupiah Bisa Lebih Tangguh daripada Ringgit?

Alasan mendasar mengapa rupiah dipandang lebih perkasa dari ringgit yakni didasarkan pada faktor rasio kecukupan cadev. Saat itu, kondisi rasio kecukupan cadev dapat digunakan juga untuk memprediksi kebijakan perimbangan pemerintah. Hasilnya, kebijakan pemerintah Indonesia sendiri dipandang lebih positif jika dibandingkan kebijakan pemerintah Malaysia.

Disisi lain, pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia mengambil kebijakan dengan didasarkan pada fundamental nilai tukar dalam negeri. Meskipun nyatanya nilai uang dalam negeri mengalami undervalue akhir-akhir ini, namun tetap langkah Bank Indonesia dengan tidak terlalu agresif dalam mengambil kebijakan dinilai lebih positif di mata investor.

Dibanding tahun lalu, nilai tukar ringgit menyentuh angka 25%. Dapat disimpulkan bahwa kurs tersebut mengalami pelemahan paling besar yang terjadi di ASEAN. Pelemahan yang terjadi tentu dipengaruhi oleh kondisi global meliputi devaluasi Yuan serta prediksi kenaikan suku bunga oleh the Fed. 

Pelemahan nilai uang Malaysia juga diperparah oleh krisis kepercayaan warga terhadap Najib Razak sebagai perdana menteri Malaysia. Dengan tuduhkan korupsi sebanyak Rp 9,3 triliun, warga menuntut Perdana Menterinya untuk turuk dari jabatan saat ini. 

Tentu kondisi demikian sangat berbeda dengan Indonesia di mana surplus mengalami peningkatan serta rasio kecukupan modal perbankan terlihat semakin kuat.

Baca Juga :  Nuno Mendes Portugal 'keluar hingga akhir Januari'

Pelemahan Rupiah Juga Lebih Moderat Daripada Anjloknya Ringgit

Mata uang Malaysia kembali mengalami penurunan di tengah-tengah depresiasi valuta asing lainnya. Namun, pelemahan rupiah dinilai lebih moderat jika dibandingkan kondisi valuta lain. Detailnya, ringgit mengalami anjlok sekitar 1.14% dimana kondisi tersebut dianggap sebagai penurunan paling tajam. Sementara itu, kurs dalam negeri turut juga mengalami depresiasi hingga mencapai angka 0.47%.

Bukan Hanya Ringgit dan Rupiah, Mata Uang ASEAN juga Dinilai Lebih Tangguh

Jika kurs asing dipandang rentan terhadap gejolak ekonomi yang terjadi, berbeda hal soal kurs Negara-negara Asia. Sebut saja rupiah, baht, maupun ringgit terbukti lebih kebal terhadap kondisi perlambatan ekonomi yang terjadi di China serta dampak kebijakan Federal Reserve AS terkait suku bunga. 

Mengingat kedua valuta tersebut menempati posisi tiga besar dalam emerging market Asia, nyatanya hal tersebut tak sama terhadap fenomena taper tantrum di mana stimulus moneter dikurangi oleh Bank Sentral AS.

Akibat daya tahan tersebut, maka nilai uang Negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan permintaan khususnya surat utang pemerintah. Kemungkinan penundaan suku buka terkait dengan The Fed juga mendorong kondisi tersebut. 

Hal itu berdampak pada imunitas mata uang Indonesia, Malaysia, serta Thailand. Kombinasi antara belanja pemerintah dengan permintaan domestik semakin meningkatkan perekonomian. Data Bank of America menyatakan bahwa konsumsi masyarakat terkait PDB Indonesia mencapai angka 56% sementara PDB Malaysia mendapatkan persentase sebesar 51%.

Related posts