Bumiayu.Id – Berita mengenai penundaan rencana Initial Public Offering (IPO) dua unit bisnis Alibaba telah menciptakan gelombang kekhawatiran di pasar keuangan. Alibaba, perusahaan teknologi e-commerce terkemuka asal Tiongkok, telah memutuskan untuk menunda rencana IPO untuk dua anak perusahaannya, yaitu Ant Group dan AliExpress. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada prospek keuangan Alibaba, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang dinamika pasar keuangan global.
Penundaan IPO ini terutama terkait dengan ketidakpastian regulasi yang semakin ketat di Tiongkok, khususnya terkait dengan Ant Group. Ant Group, yang dikenal sebagai pemilik Alipay, layanan pembayaran online terbesar di Tiongkok, awalnya dijadwalkan untuk melakukan IPO di pasar saham Shanghai dan Hong Kong. Namun, rencana tersebut terhenti pada November 2020 setelah otoritas regulasi Tiongkok memicu perubahan dalam peraturan keuangan teknologi.
Saham Alibaba merosot sebanyak 7% di Hong Kong pada hari Kamis, setelah raksasa teknologi Tiongkok tersebut melaporkan angka penjualan yang mengecewakan dan mengumumkan akan menangguhkan rencana pencatatan dua unitnya. Ketua Joseph Tsai mengatakan dalam laporan pendapatan bahwa “mengingat kondisi pasar yang menantang,” kelompok tersebut “tidak terburu-buru” mengenai waktu penawaran umum perdana (IPO) untuk Cainiao, cabang logistiknya, dan Freshippo, jaringan grosirnya. “Kondisi pasar saat ini tidak berada dalam kondisi yang kami yakini dapat mencerminkan nilai intrinsik sebenarnya dari bisnis ini,” katanya.
Alibaba mengatakan pada bulan September bahwa mereka akan memisahkan Cainiao dalam IPO. Rencana pencatatan jaringan supermarket Freshippo dimulai lebih jauh lagi, hingga Juli 2022, menurut Reuters. Berita ini muncul pada saat yang sulit bagi raksasa teknologi tersebut. Pada bulan Desember, perusahaan tersebut merombak peringkat teratasnya setelah kinerja luar biasa dari pesaingnya menyebabkan kegemparan di Alibaba.
Pendapatan kuartalan Alibaba, yang dirilis pada hari Rabu, tampaknya mendukung tren ini. Penjualannya sebesar $36,7 miliar pada kuartal yang berakhir pada bulan Desember, 5% lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sedikit di bawah ekspektasi sekelompok analis yang disurvei oleh Refinitiv. Laba bersih turun 77% menjadi lebih dari $2 miliar, yang menurut perusahaan disebabkan oleh “penurunan pendapatan” dari operasinya, katanya dalam sebuah pernyataan.
Pengumuman perusahaan mengenai program pembelian kembali saham senilai $25 miliar, yang dikatakan menunjukkan keyakinan perusahaan terhadap prospek bisnis dan arus kasnya, juga gagal dalam menarik minat investor. Saham Alibaba di New York ditutup 5,9% lebih rendah pada hari Rabu.
Dalam konferensi pers, Alibaba menyatakan bahwa penundaan ini adalah keputusan yang bijaksana untuk mengevaluasi dan memperbaiki masalah yang dihadapi oleh Ant Group dan AliExpress sebelum melanjutkan proses IPO. Meskipun Alibaba menyatakan kesiapannya untuk terus mendukung anak perusahaannya, pasar keuangan menunjukkan respons negatif, dengan saham Alibaba turun lebih dari 8% setelah pengumuman ini.
Dalam jangka panjang, penundaan IPO ini juga dapat memengaruhi kepercayaan investor terhadap kemampuan Alibaba untuk mengelola perusahaan anaknya dengan efektif dan mematuhi regulasi yang semakin ketat. Investasi di pasar saham Tiongkok dapat menjadi lebih berisiko, mengingat perubahan dinamika dan kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi perusahaan teknologi besar seperti Alibaba.
Penting untuk diingat bahwa pasar keuangan global secara luas dapat merespons terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini, mengingat Alibaba merupakan salah satu pemain kunci dalam industri e-commerce dan teknologi. Investor global perlu memantau perkembangan lebih lanjut dan mempertimbangkan dampaknya terhadap portofolio investasi mereka.
Alibaba tetap menjadi salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia, dan bagaimanapun juga, penundaan IPO ini mungkin hanya menjadi salah satu bab dari perjalanan panjangnya. Namun, dinamika pasar keuangan yang cepat berubah dan ketidakpastian regulasi di Tiongkok dapat terus memengaruhi perusahaan teknologi besar, serta investor yang mengikutinya.






